BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Lahirnya UU No. 7 Tahun 1992, UU No.
10 Tahun 1998 dan UU No. 23 Tahun 1990 serta UU No. 21 Tahun 2008 sebenarnya
sudah menjadi dasar hukum yang kuat bagi terselenggaranya Perbankan Syariah di
Indonesia, walaupun masih ada beberapa hal yang masih perlu disempurnakan,
diantaranya perlunya penyusunan dan penyempurnaan ketentuan perundang-undangan
mengenai operasionalisasi bank syariah secara tersendiri agar apabila terjadi
suatu persengketaan dalam hal ini hubungannya dengan perbankan syariah dapat
teratasi dengan merujuk pada UU yang berlaku.
Pada awalnya yang menjadi kendala
hukum bagi penyelesaian sengketa perbankan syariah adalah hendak dibawa kemana
penyelesaiannya, karena Pengadilan Negeri tidak menggunakan syariah sebagai
landasan hukum bagi penyelesaian perkara, sedangkan wewenang Pengadilan saat
itu menurut UU No. 7 Tahun 1989 hanya terbatas mengadili perkara perkawinan,
kewarisan, wasiat, hibah, wakaf dan shadaqoh.
Hal inilah yang melatar belakangi
lahirnya UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama yang menetapkan kewenangan lembaga Peradilan Agama
untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara di bidang ekonomi
Syariah.
B. Rumusan
Masalah
Dalam
tulisan ini yang menjadi rumusan permasalahan adalah pengertian dan prosedur
penyelesaian perkara sengketa perbankan syariah di pengadilan agama dan
prosedur formal penyelesaian sengketa tersebut di pengadilan agama pasca UU No.
50 Tahun 2009 tentang perubahan kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang
pengadilan agama.
C. Tujuan
Penulisan
Adapun
tujuan dari penulisan makalah ini adalah agar penulis dan pembaca mengetahui
bagaimana tata cara dan prosedur yang diterapkan dalam penyelesaian sengketa
perbankan syariah dan pengaruh perubahan UU No. 50 Tahun 2009 tentang perubahan
kedua UU No.7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian,
Prinsip dan Tujuan Penyelesaian Sengketa
1. Pengertian
Penyelesaian
sengketa atau lebih dikenal dengan nama Ash-Shulhu berarti memutus pertengkaran
atau perselihan atau dalam pengertian syariatnya adalah suatu jenis akad
(perjanjian) untuk mengakhiri perlawanan (sengketa) antara 2 orang yang
bersengketa.
2. Prinsip
Penyelesaian sengketa memiliki
prinsip tersendiri agar masalah-masalah yang ada dapat terselesaikan dengan
benar. Diantara prinsip tersebut adalah sebagai berikut:
a. Adil dalam memutuskan perkara
sengketa, tidak ada pihak yang merasa dirugikan dalam pengambilan keputusan.
b. Kekeluargaan
c. Win win
solution, menjamin
kerahasian sengketa para pihak
d. Menyelesaiakan masalah secara
komprehensif dalam kebersamaan
3. Tujuan
Tujuan diadakannya penyelesaian
sengketa ini agar setiap permasalahan-permasalahan yang ada dalam perbankan
dapat terselesaikan dengan sebagaimana mestinya. Sehingga tidak menimbulkan
bersengketaan yang berujung pada ketidakadilan, dalam Islam juga tidak
diperbolehkan berselisih yang berkepanjangan karena dapat menimbulkan
persengketaan.[1]
B.
Landasan Hukum Penyelesaian sengketa
a.
Al-Qur’an terdapat dalam surat Al
Hujurat ayat 9
“Dan jika
ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya. Jika salah
satu dari kedua golongan itu berbuat aniaya terhadap golongan yang lain maka
perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehingga golongan itu kembali,
kepada perintah Allah; jika golongan itu telah kembali (kepada perintah Allah),
maka damaikanlah antara keduanya dengan adil dan berlaku adillah. Sesungguhnya
Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.
b.
Hadits
Hadits riwayat At-Tarmizi, Ibnu Majah, Al Hakim dan Ibnu
Hibban bahwa Rasulullah saw bersabda, “perjanjian diantara orang-orang mislim
itu boleh, kecuali perjanjian menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang
halal.” At-Tirmizi dalam hal ini menambahkan
muamalah orang-orang muslim itu berdasarkan syarat-syarat mereka.
c.
Pasal 1338 KUHP, Sistem Hukum Terbuka
Pasal 1338
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHP) menyatakan, “semua perjanjian yang
dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya. Perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan
kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan yang ditentukan oleh
undang-undang. Perjanjian harus dilaksanakan dengan baik”.
C.
Prosedur Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah Di
Pengadilan Agama
a.
Penyelesaian Melalui Proses Persidangan
(Litigasi)
Sebagaimana lazimnya dalam menangani setiap perkara yang
diajukan kepadanya, hakim selalu dituntut mempelajari terlebih dahulu perkara
tersebut secara cermat untuk mengetahui substansinya serta ikhwal yang
senantiasa ada menyertai substansi perkara tersebut.
Hal ini
perlu dilakukan guna menentukan arah jalannya pemeriksaan perkara tersebut
dalam proses persidangan nantinya. Untuk itu hakim harus sudah mempunyai resume
tentang perkara yang ditanganinya sebelum dimulainya proses pemeriksaan
dipersidangan. Berkaitan dengan hal tersebut, dalam hal memeriksa perkara ekonomi
syariah khususnya perkara perbankan syariah ada beberapa hal penting yang harus
dilakukan terlebih dahulu antara lain yaitu :
1. Pastikan lebih dahulu perkara
tersebut bukan perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase
Pentingnya
memastikan terlebih dahulu apakah perkara tersebut termasuk sengketa perjanjian
yang mengandung klausula arbitrase atau bukan, tidak lain dimaksudkan agar jangan
sampai pengadilan agama yang memeriksa dan mengadili perkara yang ternyata di
luar jangkauan kewenangan absolutnya. Sementara pemeriksaan terhadap perkara tersebut sudah
berjalan sedemikian rupa, atau bahkan sudah diputus.
Kewenangan absolut lingkungan peradilan agama tidak
menjangkau sengketa atau perkara perjanjian yang didalamnya terdapat klausula
arbitrase. Oleh karena itu, hal ini sangat penting untuk diperhatikan dan
dipastikan terlebih dahulu sebelumproses pemeriksaan perkara tersebut berjalan
lebih jauh. Bahkan seharusnya hal ini dilakukan sebelum mengupayakan perdamaian bagi para pihak.
Jika perkara tersebut merupakan sengketa perjanjian yang mengandung klausula
arbitrase, maka tdak perlu lagi hakim melanjutkannya dengan mengupayakan
perdamaian karena jelas perkara tersebut tidak termasuk wewenang absolute
lingkungan peradilan agama. Termasuk dalam hal mengupayakan perdamaiannya,
pengadilan agama tidak berwenang.
Perkara yang
mengandung klausula arbitrase adlah jika dalam perjanjian tersebut terdapat
klausula yang pada prinsipnya menyatakan bahwa apabila terjadi perselisihan
atau sengketa (disputes) di antara mereka mengenai perjanjian tersebut
akan diselesaikan dengan cara melalui suatu badan arbitrase yang telah mereka
tentukan, berarti perjanjian tersebut jelas mengandung apa yang dinamakan
dengan klausula arbitrase.
Adapun sikap
yang tepat bagi pengadilan agama, jika perkara tersebut merupakan sengketa
perjanjian yang mengandung klausula arbitrase sebelum memeriksanya lebih jauh
adalah menjatuhkan putusan negative berupa pernyataan hukum yang menyatakan
bahwa pengadilan agama tidak berwenang memeriksa dan mengadili perkara
tersebut.
2.
Pelajari secara cermat perjanjian
(akad) yang mendasari kerjasama antarpara pihak
Setelah
dipastikan bahwa perkara perbankan syariah yang ditangani tersebut bukan merupakan
perkara perjanjian yang mengandung klausula arbitrase, lalu dilanjutkan dengan
upaya perdamaian bagi para pihak. Selanjutnya apabila upaya damai ternyata
tidak berhasil, hal penting lainnya yang harus dilakukan adalah mempelajari
lebih jauh perjanjian atau akad yang mendasari kerjasama para pihak yang
menjadi sengketa tersebut.
Adapun hukum
perjanjian yang dapat dijadikan acuan dalam hal ini, baik yang diatur dalam
KUHPerdata dari Pasal 1233 sampai Pasal 1864 yang disebut dengan perjanjian
nominaat maupun hukum perjanjian yang tidak diatur dalam KUHPerdata, seperti
kontrak production sharing, kontrak join venture, kontrak karya, leasing,
beli sewa, franchise, kontrak rahim dan lain lain yang disebut dengan
perjanjian innominaat, yakni perjanjian yang timbul, tumbuh, hidup, dan
berkembang dalam praktik kehidupan masyarakat.[2]
Ketentuan-ketentuan hukum perjanjian tersebut dalam
penerapannya tentu saja harus relevan dengan ketentuan-ketentuan hukum
perjanjian dalam islam baik yang diatur dalam Al-Quran, As-Sunnah atau pendapat
ulama dibidang tersebut. Dengan perkataan lain dalam hal ketentuan-ketentuan
perjanjian tersebut ternyata dalam penerapannya bertentangan dengan
ketentuan-ketentuan hukum islam, maka hakim harus mengutamakan
ketentuan-ketentuan hukum islam.
b.
Prinsip utama dalam menangani
perkara perbankan syariah
Adapun
prinsip utama yang harus benar-benar dipahami dan diperhatikan dalam menangani
perkara perbankan syariah khususnya dan bidang perkara ekonomi syariah pada
umumnya bahwa dalam proses penyelesaian perkara tersebut sama sekali tidak
boleh bertentangan dengan prinsip syariah. Hal ini jelas merupakan prinsip
fundamental dalam menangani dan menyelesaikan perkara perbankan syariah di
pengadilan agama karena perbankan syariah seperti di tegaskan Pasal 1 ayat (7)
jo. UU No. 21 Tahun 2008 dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak lain
berdasarkan prinsip syariah.
Oleh
karena itu, jika terjadi sengketa berkaitan dengan kegiatan usaha tersebut
jelas tidak mungkin diselesaikan dengan cara cara yang justru bertentangan
dengan prinsp syariah.
Hal ini
penting diingatkan dan dipahami karena seperti diketahui hukum formil, dan
bahkan mungkin sebagian hukum materil, dalam hal ini seperti HIR/R.Bg, RV dan
KUHPerdata, yang akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa perbankan syariah
di lingkungan peradilan agama, pada awalnya memang bukan dibuat dengan tujuan
untuk menegakkan dan melindungi hukum materil islam.
Oleh
karena itu, meskipun ketentuan-ketentuan hukum tersebut secara umum tidak
banyak yang bertentangan dengan hukum islam, tetapi tidak mustahil masih ada
bagian-bagian dari ketentuan-ketentuan tersebut yang apabila diterapkan apa
adanya justru akan bertentangan atau dianggap tidak relevan dengan prinsip
syariah yang menjadi dasar perbankan syariah dalam menjalankan segala
aktivitasnya sehingga hal itu menimbulkan persoalan baru.
Dalam
penyelsaian sengketa perbankan syariah di pengadilan agama, hakim dalam hal ini
harus berhati-hati. Sebab, meskipun mengenai hal ini sudah ada fatwanya, yaitu
fatwa No. 17/DSN-MUI/IX/2000 Tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu yang Menunda-nunda
Pembayaran, namun keabsahan hukumnya hingga saat ini dikalangan ulama masih
kontroversial.
Disatu
sisi pihak terdapat ulama-ulama yang menentang pemberian sanksi berupa denda
sejumlah uang terhadap keterlambatan tersebut karena sanksi semacam itu
dianggap mengandung unsur riba yang secara qat’I dilarang syara,,
sementara hal mendasar yang membedakan bank syariah dengan bank konvensional
justru unsur yang mengandung riba itu sendiri. Dipihak lain, terdapat ulama
yang mendukung pemberian sanksi semacam itu terhadap nasabah tersebut karena
beralasan untuk menegakkan maqasid asy-syariah.[3] Berkaitan dengan hal itu jika
dihadapkan dengan kasus-kasus semacam itu hakim dituntut berhati-hati dan
secermat mungkin agar putusan yang dijatuhkan tidak bertentangan dengan prinsip
syariah sehingga justru menimbulkan persoalan baru bagi para pencari keadilan
khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.
c.
Prosedur Pemeriksaan Perkara
Perbankan Syariah
1.
Pemeriksaan di
Persidangan Sesuai Hukum Acara Perdata
Apabila upaya
penyelesaian melalui perdamaian tidak berhasil, dimana kedua belah pihak
ternyata tidak mememui kata sepakat untuk menyelesaiakan perkaranya secara
damai maka sesuai dengan ketentuan Pasal 115 R.Bg atau Pasal 131 HIR ayat (1)
dan (2) jo. Pasal 18
ayat (2) PERMA hakim harus melanjutkan pemeriksaan perkara tersebut sesuai
dengan ketentuan hukum acara yang berlaku. Dengan demikian, perkara tersebut
akan diperiksa dan diselesaikan melalui proses persidangan sebagaimana
mestinya.
Penyelesaian perkara perbankan
syariah dilingkungan peradilan agama akan dilakukan sesuai dengan ketentuan
hukum acara perdata sebagaimana yang berlaku di lingkungan peradilan umum.
Artinya, setelah upaya damai ternyata tidak berhasil maka hakim melanjutkan
proses pemeriksaan perkara tersebut di persidangan sesuai dengan ketentuan
hukum acara perdata yang dimaksud. Dengan dmikian dalam hal ini proses
pemeriksaan perkara tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses
pemeriksaan perkara tersebut akan berjalan sebagaimana lazimnya proses
pemeriksaan perkara perdata di pengadilan yang secara umum akan dimulai dengan
pembacaan surat gugatan penggugat, lalu disusul dengan proses jawab menjawab
yang akan diawali dengan jawaban dari pihak tergugat, kemudian replik
penggugat, dan terakhir duplik dari pihak tergugat.
Setelah proses jawab menjawab
tersebut selesai, lalu persidangan dilanjutkan dengan acara pembuktian. Pada
tahap pembuktian ini kedua pihak berperkara masing-masing mengajukan
bukti-buktinya guna mendukung dalil-dalil yang telah dikemukakan dipersidangan.
Setelah masing-masing pihak mengajukan bukti-buktinya, lalu tahap berikutnya
adalah kesimpulan dari para pihak yang merupakan tahap akhir dari proses
pemeriksaan perkara di persidangan.
Setelah seluruh
tahap pemeriksaan perkara dipersidangan selesai, hakim melanjutkan kerjanya
untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili atau memberikan keadilan daam
perkara tersebut. Untuk itu tindakan selanjutnya yang harus dilakukan hakim
dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut adlah melakukan konstatir,
mengkualifisir, dan mengkonstituir guna menenmukan hukum dan menegakkan
keadilan atas perkara tersebut untuk kemudian disusun dalam suatu putusan
(vonis) hakim.
2.
Sumber-Sumber
Hukum Materiil Dalam Mengadili Perkara Perbankan Syariah
Dalam mengadili
perkara, hakim mencari hukumnya dari sumber-sumber yang sah dan menafsirkannya,
untuk kemudian diterapkan pada fakta atau peristiwa konkrit yang ditemukan
dalam perkara tersebut.[4]
Sumber-sumber hukum yang sah dan
diakui secara umum, khususnya di bidang bisnis adalah isi perjanjian,
undang-undang,yurisprudensi, kebiasaan, perjanjian internasional, dan ilmu
pengetahuan.[5]
Adapun bagi lingkungan peradilan
agama, sumber-sumber hukum yang terpenting untuk dijadikan dasar dalam
mengadili perkara-perkara perbankan syariah setelah Al-Quran dan AS-Sunnah
sebagai sumber utama, antara lain adalah :
a.
Isi perjanjian atau akad (agreement) yang dibuat para
pihak.
Dijadikannya isi perjanjian atau akad,
yang dibuat para pihak sebagai salah satu sumber hukum untuk dijadikan dasar
dalam mengadili perkara perbankan syariah tidak terlepas dari kedudukan
perjanjian atau akad itu sendiri yang berlaku sebagai undang-undang bagi para
pihak yang membuatnya sebagaimana digariskan Pasal 1338 sampai dengan Pasal
1349 KUHPerdata.
b. Peraturan Perundang-undangan di
bidang perbankan syariah
Adapun peraturan perundang-undangan yang dapat dijadikan
sebagai sumber hukum dalam mengadili perkara perbankan syariah antara lain
adalah :
·
UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun
1992 Tentang Perbankan
·
UU No. 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UU No. 23 Tahun
1999 Tentang Bank Indonesia
·
UU No. 21 Tahun 2008 tentang
Perbankan Syariah
·
UU No. 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan
·
PBI No. 6/24/PBI/2004 Tanggal 14 Oktober 2004 tentang Bank
Umum yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah
·
PBI No. 6/17/PBI/2004 tanggal 1 Juli 2004 tentang Bank
Perkreditan Rakyat Berdasarkan Prinsip Syariah
·
SK Direksi Bank Indonesia No. 21/48/Kep./Dir/1988 tentang
sertifikat deposito
·
SE. Bank Indonesia No. 28/32/UPG
tanggal 4 juli 1995 tentang Bilyet Giro
·
Berbagai surat Keputusan dan Surat Edaran Bank Indonesia
lainnya yang berkaitan dengan kegiatan usaha Perbankan Syariah.
c. Kebiasaan-kebiasaan di bidang
ekonomi syariah
Untuk dapat
dijadikan sebgai sumber hukum guna dijadikan dasar dalam mengadili perkara
perbankan syariah, kebiasaan dibidang ekonomi syariah itu haruslah mempunyai
paling tidak tiga syarat yaitu :
1.
Perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat tertentu secara berulang-ulang
dalam waktu yang lama (longa et invetarata consuetindo)
2.
Kebiasaan itu sudah merupakan keyakinan hukum masyarakat (opinion
necessitates); dan
3.
Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar.[6]
Apabila kebiasaan dibidang ekonomi syariah mempunyai tiga
syarat tersebut, maka dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam
mengadili perkara perbankan syariah.
d. Fatwa-Fatwa Dewan Syariah Nasional
di Bidang Perbankan Syariah
Fatwa-fatwa DSN
yang dapt dijadikan sumber hukum dalam mengadili perkara perbankan syariah
adalah meliputi seluruh fatwa DSN di bidang perbankan syariah. Seperti diketahui fatwa tidak lain
adalah merupakan produk pemikiran hukum islam yang bersifat kasuistik yang
umumnya merupakan respons atas pertanyaan yang diajukan peminta fatwa. Pada
dasarnya fatwa memang tidak memiliki daya ikat, baik terhadap peminta fatwa
sendiri lebih lebih terhadap pihak lain.[7] Namun
dalam mengadili perkara perbankan syariah di pengadilan agama, khususnya fatwa
DSN di bidang perbankan syariah, tampaknya mempunyai kedudukan dan perlu
diperlakukan tersendiri.
e. Yurisprudensi
Yurisprudensi
yang dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar mengadili perkara perbankan
syariah dalam hal ini adalah yurisprudensi dalam arti putusan hakim tingkat
pertama dan tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap. Dan dibenarkan
oleh Mahkamah Agung, atau putusan Mahkamah Agung itu sendiri yang telah
berkekuatan hukum tetap, khususnya di bidang Perbankan syariah.
f.
Doktrin
Doktrin yang
dapat dijadikan sebagai salah satu sumber hukum dalam mengadili perkara-perkara
perbankan syariah tersebut adlah pendapat-pendapat para pakar hukum islam yang
terdapat dalam kitab kitab fikih.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dilihat dari penjelasan diatas bahwa dengan adanya Lembaga
Keuangan Syariah, khususnya Bank Syariah yang mendasari prinsip operasionalnya
berdasarkan syariah Islam, maka pemberlakuan hukum Syariah melekat pada lembaga
tersebut. Oleh karena itu, penyelesaian sengketa dalam Perbankan Syariah juga
berbeda dengan penyelesaian sengketa dalam Perbankan Konvensional. Sehingga
pemerintah mengeluarkan UU Nomor 50 Tahun 2009 tentang perubahan UU Nomor 3
Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama yang menetapkan kewenangan lembaga Peradilan
Agama untuk memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara di bidang
ekonomi Syariah.
Namun
demikian, penyelesaian sengketa ekonomi syariah sebaiknya lebih mengedepankan
menempuh upaya musyawarah untuk mufakat ketika menghadapi sengketa. Melalui
upaya dialogis ini diharapkan hubungan bisnis dan persaudaraan yang ada dapat
tetap terjalin dan lebih dapat menjaga hubungan baik diantara para pihak, serta
dapat lebih hemat dari segi waktu dan biaya. Dalam hal musyawarah untuk mufakat
tidak tercapai baru para pihak dapt menempuh upaya lain, yaitu, melalui jalur
negosiasi, mediasi, arbitrase, serta litigasi melalui pengadilan sebagai the
last resort yang dapat ditempuh oleh para pihak dalam menyelesaikan sengketa.
B. Saran
Penulis sadar
bahwa didalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dan mungkin
kesalahan. Oleh karena itu penulis sangat berharap kepada pembaca agar bersedia
memberi masukan dan kritik yang sifatnya membangun demi kesempurnaan makalah
berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Anshori Abdul Gofur,
2009, Perbankan Syariah Di Indonesia, Gajah Mada University Press,
Yogyakarta
Antonio
Muhammad Syafii, 2005, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, Gema Insani,
Jakarta
HS Salim, 2006, Hukum Kontrak :
Teori Dan Tehnik Penyusunan Kontrak, Sinar Grafika, Jakarta
Maftukhatusolikhah dan Rusyid, 2008,
Riba Dan Penyelesaian Sengketa Dalam Perbankan Syariah. Politea Press,
Yogyakarta
Maksun, 2000, Problematika
Aplikasi Produk Pemikiran Hukum Islam, Mimbar Hukum
Mertokusumo Sudikno, 1999a, Hukum
Acara Perdata Indonesia, Liberty, Yogyakarta
Mertokusumo Sudikno , 1999b, Mengenal
Hukum Suatu Pengantar, Liberty, Yogyakarta
Perwataatmadja Karnaen, 2005, Bank
Dan Asuransi Islam Di Indonesia, Prenada Media, Jakarta
Taufik,
2007, Nadhariyyatu Al-Uqud Al-Syar’iyah, LKis, Yogyakarta
Suhendi, Hendi, 2002, Fiqh
Muamalat, PT Raja Grafindo, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar